Minggu, 18 Oktober 2015

KURIKULUM KEWIRAUSAHAAN UNTUK MENDORONG KEMANDIRIAN BANGSA


           Kata “kurikulum” mulai dikenal sebagai istilah dalam dunia pendidikan sejak kurang lebih satu abad yang lalu. Istilah kurikulum muncul untuk pertama kalinya dalam kamus Webster tahun 1856. Pada tahun itu kata kurikulum digunakan dalam bidang olah raga, yakni suatu alat yang membawa orang dari start sampai ke finish. Barulah pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan dengan arti sejumlah mata pelajaran di suatu perguruan. Dalam kamus tersebut kurikulum diartikan dua macam, yaitu:
1.   Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa di sekolah atau perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu.
2.   Sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau jurusan.
Pengertian diatas menimbulkan paham bahwa dari sekian banyak kegiatan dalam proses pendidikan disekolah/perguruan tinggi, hanya sejumlah mata pelajaran (bidang studi) yang ditawarkan itulah yang disebut kurikulum. Kegiatan belajar, selain yang mempelajari mata-mata pelajaran itu, tidak termasuk kurikulum. Padahal, sebagaimana kita ketahui, kegiatan belajar tidak hanya kegiatan mempelajari mata pelajaran. Mempelajari mata pelajaran hanyalah salah satu kegiatan belajar di sekolah/perguruan tinggi.[1]
B. Othanel Smith, W.O Stanley dan J. Harlan Shore memandang kurikulum sebagai rangkaian pengalaman potensial yang dapat di berikan kepada anak supaya mereka dapat berpikir dan berbuat sesuatu dengan masyarakatnya.[2] J. Loyd Trump dan Delmas F. Miller dalam buku Secondary School Improvement (1937) berpendapat bahwa kurikulum mencakup metode mengajar dan belajar, cara mengevaluasi murid dan semua progam, perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervisi dan administrasi, dan hal–hal struktural mengenai waktu, jumlah ruangan serta kemungkinan memilih mata pelajaran.[3]
Kurikulum dalam konsep rekonstruksi sosial, pada hakikatnya bertujuan mengubah kelakuan individu, pengetahuan, sikap dan nilai-nilai serta keterampilannya. Bila pendidikan mampu mengubah individu, maka dapat pula mengubah masyarakat. Masyarakat dapat diubah, diperbaiki melalui perubahan individu. Sekolah dipandang sebagai “agent of change”. Pendidikan selalu menuju ke masa depan sekali pun menggunakan masa lampau dan masa kini.[4] Dalam konsep ini, kurikulum tidak hanya bertujuan memberikan pengetahuan kepada peserta didik akan tetapi juga bertujuan mengubah kelakuan individu, nilai-nilai serta sikap yang diyakini. Sebagai contoh, pada saat ini masyarakat memiliki keyakinan bahwa lulusan-lulusan perguruan tinggi adalah mereka yang siap menerima pekerjaan mapan sesuai dengan kualifikasi pendidikan mereka. Jika masyarakat berpandangan bahwa lulusan perguruan tinggi pasti mendapatkan pekerjaan mapan sesuai kualifikasi pendidikan mereka maka, akan mengakibatkan tingginya residu angkatan kerja berupa pengangguran terdidik. Hal ini dikarenakan jumlah lulusan perguruan tinggi yang setiap tahun semakin meningkat, tidak sebanding dengan peningkatan ketersediaan kesempatan kerja yang akan menampung mereka.
Pemerintah selalu berusaha memenuhi kebutuhan akan lapangan pekerjaan bagi lulusan perguruan tinggi dengan membuka pendaftaran CPNS. Akan tetapi jumlah lapangan pekerjaan yang dibuka belum dapat menampung sebagian besar tenaga kerja yang ada. Keterbatasan terserapnya lulusan perguruan tinggi di sektor pemerintah menyebabkan perhatian beralih pada peluang bekerja di sektor swasta. Namun beratnya persyaratan yang ditetapkan membuat peluang untuk bekerja di sektor swasta juga semakin terbatas. Sekretariat Negara RI (2010), menggambarkan pengangguran berpendidikan tinggi, baik diploma maupun sarjana, selama periode 2004-2009 bertambah 529.662 jiwa, yaitu dari 585.358 jiwa pada tahun 2004 menjadi 1.115.020 jiwa pada tahun 2009. Jika diratakan, maka setiap tahun pengangguran berpendidikan tinggi bertambah hampir 106.000 jiwa. Pada tahun 2008 sebanyak 23,80% (persen) pengangguran adalah mereka yang memiliki ijazah pendidikan tinggi (diploma/sarjana). Angka tersebut naik menjadi 26,74% (persen) pada tahun 2009.
Kurikulum pembelajaran entrepreneur/kewirausahaan di perguruan tinggi merupakan salah satu langkah yang dapat diambil untuk menekan terjadinya peningkatan jumlah pengangguran yang berstatus sarjana. Meskipun pembelajaran kewirausahaan di perguruan tinggi secara umum ditujukan agar mahasiswa mampu menjawab tantangan dan memanfaatkan peluang-peluang yang ada di  sekitarnya dan tidak semata-mata ditujukan agar mahasiswa setelah lulus nantinya dapat membuka usaha baru, namun dengan bekal pembelajaran kewirausahaan setidaknya mereka telah memiliki bekal wawasan berwirausaha yang dapat dimanfaatkan ketika mereka tidak terserap pada lapangan kerja. Bahkan dengan mendirikan usaha baru, justru dapat membantu menekan meningkatnya angka pengangguran dengan merekrut angkatan kerja yang belum terserap pada lapangan kerja yang telah ada. Saat ini, belum keseluruhan perguruan tinggi menerapkan mata kuliah entrepreneur/kewirausahaan, begitu pula di lingkup Perguruan Tinggi Agama Islam. Dengan banyaknya jumlah mahasiswa yang diluluskan setiap tahunnya, pemberian mata kuliah entrepreneurship/ kewirausahaan sangat dibutuhkan oleh mahasiswa untuk memberikan motivasi dalam menciptakan atau mengembangkan bisnis secara mandiri.
Kewirausahaan  (entrepreneurship)  berasal  dari  bahasa  Perancis,  yakni entreprendre yang berarti melakukan (to undertake) dalam artian bahwa wirausahawan adalah seorang yang melakukan kegiatan mengorganisir dan mengatur. Istilah ini muncul di saat para pemilik modal dan para pelaku ekonomi di Eropa sedang berjuang keras menemukan berbagai usaha baru, baik sistem produksi baru, pasar baru, maupun sumber daya baru untuk mengatasi kejenuhan berbagai usaha yang telah ada. Arti  kata  kewirausahaan  berbeda-beda  menurut para ahli atau sumber acuan, karena adanya perbedaan penekanan. Richard Cantillon (1725), mendefinisikan kewirausahaan sebagai orang-orang yang menghadapi resiko yang berbeda dengan mereka yang menyediakan modal. Jadi definisi Cantillon lebih menekankan pada bagaimana seseorang menghadapi risiko atau ketidakpastian. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Blaudeu (1797), bahwa kewirausahaan adalah orang-orang yang menghadapi resiko. Demikian halnya Albert Shapero (1975) mendefenisikan sebagai pengambilan inisiatif, mengorganisir suatu mekanisme sosial ekonomi dan menghadapi resiko kegagalan.[5]
Melalui kurikulum kewirausahaan diharapkan dapat mengubah pola atau pandangan bahwa lulusan perguruan tinggi tidak selalu dapat langsung mendapatkan pekerjaan yang mapan sesuai dengan spesifikasi pendidikan, akan tetapi perguruan tinggi dapat memberikan bekal untuk langsung mendapatkan pekerjaan yang mapan sesuai bidang keahlian maupun memberikan bekal untuk menciptakan usaha secara mandiri. Pola kemandirian para lulusan perguruan tinggi secara makro diharapkan akan dapat mendorong kemandirian bangsa. Secara logika, ketika para lulusan perguruan tinggi berhasil membuka usaha secara mandiri dan bahkan menciptakan lapangan-lapangan pekerjaan yang baru maka hal ini akan dapat menyerap sebagian besar tenaga kerja yang ada. Jumlah wirausaha dalam suatu negara dapat mendorong kemajuan suatu bangsa. Sebagaimana disebutkan oleh David McClelland[6], bahwa sebuah negara baru bisa maju jika memiliki jumlah wirausaha sebesar 2% dari populasi penduduknya. Indonesia pada tahun 2013, diperkirakan memiliki jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa membutuhkan sedikitnya 5 juta jiwa wirausaha. Namun jumlah wirausaha yang terdata hingga akhir tahun 2011 baru mencapai sekitar 400 ribu jiwa atau sangat jauh dari 1% populasi penduduk Indonesia. Jika kita lihat beberapa negara maju semisal Amerika Serikat, memiliki wirausaha sebanyak 11,5% dari populasi penduduknya. Sedangkan negara tetangga Singapura terdapat sekitar 7,2% warganya bekerja sebagai wirausaha, sehingga menjadikan negara kecil itu jauh lebih maju dari negara kita. Untuk menciptakan minimal 2% wirausaha di Indonesia, menurut Rusli M. Rukka paling tidak dibutuhkan waktu sedikitnya 25 tahun.
Kebutuhan akan wirausaha baru untuk memposisikan Indonesia sebagai negara maju diperlukan estimasi waktu yang cukup lama dalam mencapainya, untuk itu perlu segera diupayakan langkah-langkah strategis agar jumlah wirausaha baru dapat bertambah dengan waktu pencapaian yang relatif lebih singkat. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan menciptakan wirausaha baru yang berasal dari lulusan perguruan tinggi. Lulusan perguruan tinggi dianggap telah memiliki wawasan keilmuan yang cukup untuk menjadi calon-calon pengusaha besar di masa depan. Akan tetapi fakta yang dijumpai di lapangan, jarang sekali ditemukan seseorang sarjana yang mau mengawali kehidupan setelah lulus dari perguruan tinggi dengan memulai mendirikan usaha. Kurikulum kewirausahaan diharapkan dapat mendorong minat dan kemandirian para lulusan perguruan tinggi untuk membuka usaha secara mandiri dan tidak semata-mata menggantungkan diri pada lapangan pekerjaan yang ada.

Rofiq Faudy Akbar

[1] Bukhari Umar. Ilmu Pendidikan Islam. AMZAH. Jakarta: 2010. Hlm 162-163
[2] MohYamin.ManajemenMutuKurikulumPendidikan. DIVA Pers. Jogjakarta. 2009: hal 22
[3]MohYamin.ManajemenMutuKurikulumPendidikan. DIVA Pers. Jogjakarta. 2009 Hal: 23
[4] Nasution. PengembanganKurikulum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1993. Hal: 23
[5] Rusli Mohammad Rukka, 2011. Buku Ajar Kewirausahaan-1. Makasar : Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan Universitas Hasanuddin
[6] Idem

Mari Pelihara Negeri Ini

Sudah sekian puluh tahun negara kita memproklamirkan kemerdekaannya, sudah selama itu pula bangsa kita memulai kehidupan sebagai negara yang berdaulat membangun sebuah tata kehidupan yang gemah ripah loh jinawi. Sudah banyak kita rasakan dan kita lihat perubahan-perubahan pada negeri kita, pembangunan-pembangunan sarana dan prasarana telah terlengkapi sedikit demi sedikit, akan tetapi sedikit demi sedikit pula kerusakan kita timbulkan akibat perubahan yang kita buat dengan tidak sama sekali memperhitungkan faktor keseimbangan ekosistem. Kerusakan-kerusakan yang kita timbulkan sedikit-demi sedikit akan terakumulasi dengan menimbulkan bencana yang besar bagi kehidupan umat manusia. Tengok sajalah mengenai permasalahan banjir yang tiap tahun kita alami di berbagai daerah, bukan saja kerugian material akan tetapi juga kerugian immaterial yang kita alami. Permasalahan banjir adalah bencana yang terjadi akibat komplektivitas kerusakan yang kita timbulkan mulai dari hulu DAS hingga hilir. Di daerah hulu pembukaan lahan yang sembrono, penebangan hutan besar-besaran dan mengganti hutan dengan perkebunan, atau menghilangkan tanaman yang memiliki perakaran kuat. Di daerah hillir menutup daerah-daerah yang berfungsi sebagai penyerapan air dengan bangunan-bangunan sehingga menghalangi infiltrasi air ke dalam tanah. Satu kerusakan saja yang kita timbulkan akan mengakibatkan keseimbangan lingkungan terganggu, sebagi misal illegal logging, dengan illegal logging akan berakibat terjadinya longsor lahan, pemanasan global, banjir dan intrusi air laut ke daratan, terganggunya ekosistem dan lain sebagainya. Melihat hal tersebut maka sebagai generasi bangsa mulai dari sekarang marilah kita rubah paradigma dan pola pikir masyarakat kita dari pola pikir yang semau gue kepada pola pikir yang penuh tanggung jawab.